Oleh Febri Diansyah
Sebuah
poster berukuran dua kali kertas kuarto, semuanya hitam. Hanya ada tiga
kata warna putih dengan bercak merah. Tertulis, ”KPK Harus Mati”.
Hari-hari
ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus diserang dari berbagai
titik dan dengan eskalasi yang terus meningkat. Siapa yang paling keras
melawan suatu komisi yang sedang memberantas korupsi? Pasti koruptor!
Upaya
melemahkan institusi pemberantasan korupsi bukan hal baru. Di sini,
lembaga negara yang bertugas melawan korupsi patah tumbuh hilang
berganti. Tahun 1957 ada Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang
bertugas mendata kekayaan pejabat saat itu. Paran kalah terhadap
pembangkangan. Bahkan, orang- orang seperti AH Nasution, M Yamin, dan
Roeslan Abdulgani pun tidak cukup kuat menghadapi resistensi para
pejabat yang enggan melaporkan kekayaannya. Padahal, kewajaran
kepemilikan kekayaan dibandingkan dengan penghasilan yang sah adalah
salah satu alat mengukur korup atau tidaknya seorang pejabat negara.
Ada
lagi Operasi Budhi tahun 1963, dipimpin AH Nasution. Dalam
perjalanannya, fitnah terhadap personel lembaga ini berkembang hingga
akhirnya dibentuk Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi).
Meski Presiden Soekarno menjadi ketua dibantu Soebandrio dan Letjen
Ahmad Yani, upaya ini akhirnya stagnan juga.
Pada era Orde Baru,
sejumlah lembaga antikorupsi berdiri. Ada Tim Pemberantasan Korupsi yang
dipimpin Jaksa Agung, Komisi Empat, dan Operasi Tertib. Pada era
Reformasi, kita masih ingat nasib Tim Gabungan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (TGPTPK) yang bubar ketika sedang mengusut dugaan suap
sejumlah hakim agung. Sebuah putusan judicial review di Mahkamah Agung
mematikan lembaga ini.
Kabarnya pidato Gus Dur di depan DPR dulu,
terkait rencana penerbitan Perppu Pembuktian Terbalik, tidak disambut
baik. Ada juga Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN)
yang kemudian dibubarkan dan dibentuklah KPK berdasarkan UU No 30/2002.
Revisi UU KPK
Saat
ini tengah bergulir proses yang mungkin akan melumpuhkan KPK.
Berselimut kewenangan legislasi, DPR menyusun rancangan undang-undang
inisiatif DPR untuk merevisi UU No 30/ 2002 tentang KPK.
Berdasarkan
berkas yang diperoleh Indonesia Corruption Watch (ICW) per Februari
2012, tersirat jelas keinginan untuk melumpuhkan KPK. Memang,
kelembagaan KPK tetap ada, tetapi kewenangan penuntutan akan dipangkas
dan proses penyadapan dipersulit.
ICW mencatat 19 pasal kontroversial dalam draf rancangan itu, enam di antaranya mengancam pemberantasan korupsi.
Pertama,
mencabut kewenangan penuntutan KPK. Terdapat 15 bagian pasal yang
mengandung unsur ”penuntutan” dihilangkan, mulai dari kewenangan KPK
menuntut koruptor secara mandiri di pengadilan hingga kewenangan untuk
sekadar menyupervisi proses penuntutan di kejaksaan.
Upaya
memangkas kewenangan penuntutan ini ternyata tidak hanya terjadi dalam
proses penyusunan draf RUU KPK. Sebelumnya, ketika RUU Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi dibahas, ada politisi menyisipkan pasal yang
menghilangkan kewenangan KPK menuntut di pengadilan tipikor.
Bersyukur
saat itu publik tidak tertipu dan ada ketegasan dari Presiden agar
kewenangan penuntutan KPK tetap. Hari ini, seharusnya sikap yang sama
juga ditunjukkan jika kita masih ingin mempunyai KPK yang kuat, dengan
kewenangan yang integratif mulai dari penyelidikan hingga penuntutan.
Selama
ini, salah satu faktor yang membuat penanganan kasus korupsi berjalan
lamban adalah proses bolak-balik perkara antara penyidik dan penuntut
umum, bahkan terbuka peluang mengintervensi kejaksaan hingga bisa
menghentikan penuntutan.
Posisi kejaksaan yang berada di bawah
presiden akan membuat penanganan kasus korupsi rentan karena di bawah
kendali kepentingan politik. Koruptor dari partai penguasa akan sulit
disentuh. Upaya pemberantasan korupsi bahkan bisa menjadi alat membunuh
lawan politik.
Kedua, di RUU KPK adalah terbukanya peluang
penghentian penuntutan kasus korupsi di kejaksaan. Hal ini merupakan
konsekuensi dari pemangkasan kewenangan penuntutan KPK.
Ketiga,
penyadapan akan lebih rumit. Padahal, kita tahu, selama ini penyadapan
yang dilakukan KPK berperan penting di balik sejumlah penangkapan pelaku
suap, baik anggota DPR, hakim, maupun jaksa. Kalaupun ada sejumlah
pihak yang meragukan akuntabilitas penyadapan selama ini, seharusnya
yang dilakukan adalah audit penyadapan. Agar lebih fair, audit harus
dilakukan pada semua institusi penegak hukum dan intelijen dengan
kewenangan penyadapan.
Keempat, tampak upaya memutihkan perkara
korupsi yang terjadi sebelum KPK terbentuk dengan menghilangkan Pasal
68 UU KPK. Padahal, ini menjadi dasar hukum untuk memproses kasus
seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus lain pada
era Soeharto yang penanganannya belum selesai saat KPK dibentuk. KPK
pernah membentuk tim untuk mengusut skandal BLBI yang merugikan negara
ratusan triliun rupiah. Tanpa Pasal 68, para koruptor BLBI akan
diuntungkan.
Putusan MK
Selain empat poin
di atas, poin kelima adalah draf ini melanggar putusan MK tentang tidak
adanya kewenangan KPK menghentikan penyidikan dan konsep steger
mechanism dalam kepemimpinan KPK.
Keenam, dengan dalih KPK harus
diawasi, disisipkan pasal Dewan Pengawas KPK. Kita setuju semua
kekuasaan harus diawasi, tetapi melihat pasal ini tampak adanya upaya
untuk memperbesar kewenangan DPR memilih anggota Dewan Pengawas. Potensi
intervensi politik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi
semakin terbuka. Hal ini terasa sangat paradoks di tengah sejumlah
proses hukum yang menjerat para petinggi partai politik dengan tuduhan
korupsi.
Selain itu, argumentasi yang menyesatkan dan ahistoris
sering kali disampaikan sejumlah anggota DPR. Dengan alasan KPK adalah
lembaga ad hoc, dalam pengertian bersifat sementara waktu, DPR menolak
anggaran pembangunan gedung baru, perekrutan penyidik independen,
pembentukan kantor cabang, dan hal-hal lain untuk meningkatkan
efektivitas pemberantasan korupsi.
Padahal, jika diperhatikan,
dalam proses pembahasan UU No 30/2002 tentang KPK, hanya satu Fraksi
Golkar yang menyatakan bahwa KPK bukanlah lembaga permanen. Itu pun
disampaikan pada pendapat mini fraksi dan kemudian tidak ditemukan pada
pendapat akhir fraksi.
Tampaklah bahwa argumentasi hukum, sosial,
dan politik yang mendukung penguatan KPK akan dikubur dan dibuang
jauh- jauh bagi koruptor dan konco- konconya, yang penting, KPK harus
mati!
Pada sebuah poster lain, di bawahnya tertulis, ”Jika Sudah Begini, Apakah Anda Akan Diam Saja? Bangkit! Lawan Korupsi!”
Para politisi bersih dan masyarakat sepatutnya bergabung dalam perang melawan korupsi. Perang melawan para vampir.
Febri Diansyah Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
by kompas.com
No comments:
Post a Comment