Perdebatan panas kedua negara itu terjadi di ajang Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, AS, Kamis (27/9). Dalam pidatonya, Menteri Luar Negeri China Yang Jiechi secara terang-terangan menuduh Jepang telah ”mencuri” kepulauan di kawasan Laut China Timur yang oleh China dinamakan Diaoyu.
”Sejumlah langkah yang diambil Jepang benar-benar ilegal dan tidak sah. Dengan cara apa pun, mereka tak bisa mengubah fakta sejarah bahwa Jepang telah mencuri Diaoyu dan pulau-pulau yang terkait dengan China dan fakta bahwa China memiliki kedaulatan teritorial atas wilayah itu,” kata Yang di hadapan sidang.
Jepang dan China telah bersengketa soal kepulauan, yang disebut Senkaku oleh Jepang, selama puluhan tahun. Ketegangan memuncak belakangan ini setelah pemerintah pusat Jepang memutuskan membeli tiga dari lima pulau di gugus kepulauan tersebut, dua pekan silam.
Sehari sebelumnya, Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda menegaskan, pihaknya tak akan berkompromi dalam soal kepulauan itu.
Jepang menyatakan, kepulauan itu menjadi wilayah Jepang secara sah pada tahun 1895. Namun, Yang menegaskan, waktu itu pihak Jepang telah memperdaya pemerintah Kekaisaran China di era Dinasti Qing untuk menyerahkan wilayah tersebut.
Yang juga menilai langkah Pemerintah Jepang tersebut sebagai pengingkaran atas kekalahan negara itu dalam Perang Dunia II, yang mengakhiri pendudukan Jepang atas China yang penuh dengan memori buruk.
Pernyataan Yang itu langsung ditanggapi Deputi Duta Besar Jepang untuk PBB, Kazuo Kodama. Ia mengatakan, tuduhan bahwa Jepang merebut kepulauan itu dari China sama sekali tak punya dasar logika.
Ungkit luka lama
Kodama juga mengatakan, mengungkit-ungkit luka lama terkait Perang Dunia II sama sekali ”tidak meyakinkan” dan ”tidak produktif”.
Duta Besar China untuk PBB, Li Baodong, langsung balik menuduh delegasi Jepang berusaha membelokkan sejarah dan mencari pembenaran atas agresi negara itu terhadap China. Li menyebut Jepang masih memiliki mental kolonial dan bahwa pembelian pulau-pulau itu oleh Jepang murni didasarkan pada ”logika perampok”.
Memanasnya hubungan dua raksasa ekonomi dunia ini membuat AS merasa perlu urun bicara. Departemen Luar Negeri AS mengingatkan agar kedua pihak menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin.
”Saya kira semua pemimpin Asia memahami bahwa kawasan ini (China dan Jepang) adalah kokpit perekonomian global. Saat AS masih dalam tahap pemulihan, dan Eropa masih mengalami perlambatan ekonomi yang mendalam, sangat penting bagi kita untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas di Asia,” tutur seorang pejabat senior Deplu AS.
Menlu AS Hillary Clinton juga dikabarkan menggelar pertemuan khusus dengan Menlu China di sebuah hotel di New York.
Dalam situasi serba tegang ini, Korea Selatan (Korsel) menambah panas suasana. Saat diwawancara Associated Press di sela- sela Sidang Majelis Umum PBB, Menlu Korsel Kim Sung-hwan menyatakan, Jepang perlu mendidik rakyatnya soal beberapa kejahatan yang telah dilakukan di era Perang Dunia II.
Seperti China, wilayah Korea juga pernah diduduki Jepang selama puluhan tahun sebelum Perang Dunia II. Korsel secara khusus juga bersengketa dengan Jepang soal kepemilikan kepulauan yang disebut Dokdo oleh Korsel atau Takeshima oleh Jepang.
”Saat Pemerintah Jepang mengklaim Dokdo sebagai wilayah mereka, rakyat Korea menganggap itu sebagai usaha Jepang untuk menginvasi wilayah kami lagi,” kata Kim.
Menurut dia, akar sejumlah sengketa teritorial yang memanas akhir-akhir ini adalah pengingkaran para politisi Jepang atas kejahatan perang negara itu dan kegagalan Jepang mendidik rakyatnya tentang masa lalu.
China dan Korsel saat ini sedang dalam proses pergantian kepemimpinan nasional masing- masing. Sementara pemerintahan Jepang di bawah Noda saat ini juga makin tak stabil dan pemilu diperkirakan segera digelar. Dalam situasi politik tersebut, semua pihak tidak ingin terlihat lemah di hadapan rakyat masing- masing.
by kompas.com
No comments:
Post a Comment